|
Art Gallery of NSW. Foto oleh Anindito Aditomo |
Kami bukan keluarga yang paham tentang seni, tapi ketika ada pameran karya Picasso di
Art Gallery of NSW, kami menyempatkan diri berkunjung. Kapan lagi bisa mengajak anak-anak melihat karya asli Picasso yang khusus didatangkan dari museum di Paris sana?
Di Sydney, pameran karya seni dikemas menarik sehingga orang-orang awam yang tidak begitu mengenal seni pun bisa menikmatinya. Biasanya ada juga program khusus untuk anak-anak, melatih mereka mengapresiasi seni sejak kecil, dengan cara yang menyenangkan.
Meskipun pameran seni umum dikunjungi sydneysider, saya tetap terkejut melihat keramain galeri seni ketika kami berkunjung. Kami datang Sabtu sore dan susah sekali menemukan tempat parkir. Sampai di dalam lobi, ramainya galeri seni ini sudah seperti pasar, atau Mal di Indonesia. Ternyata di galeri seni ada program “Midnight Art”, mereka buka sampai tengah malam. Saya jadi ingat di Indonesia juga ada program-program tengah malam seperti ini, tapi sayangnya adanya midnight sale, bukan midnight art :p Di Sydney, Mal tutup jam lima sore, makanya orang-orang menghabiskan malam di galeri seni.
Art Gallery of NSW adalah salah satu dari tempat wisata di Sydney yang saya rekomendasikan untuk dikunjungi. Letaknya di dekat Botanic Garden dan The Domain. Sekitar 15 menit jalan kaki dari kota, atau dari stasiun St James (Hyde Park). Biaya masuknya gratis, sudah bisa melihat koleksi permanen, seperti lukisan dan instalasi dari Australia, Eropa, Asia dan Aborijin. Kalau ingin melihat pameran khusus, ada biaya masuk khusus pula. Picasso Exhibition ini biaya masuknya $25 untuk dewasa dan $18 untuk pelajar dan anak-anak.
Big A sudah pernah ke pameran Picasso bersama rombongan dari sekolah. Mereka diajari mengapresiasi seni dengan booklet khusus yang didesain untuk anak-anak. Booklet ini seperti lembar kerja siswa, yang memberi detil tentang lukisan, patung dan instalasi tertentu, memberi pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik dan menyuruh siswa untuk mereproduksi karya picasso atau mengembangkan lukisan sesuai imajinasi mereka. Meski sudah pernah ke sini, Big A tetap semangat untuk melihat pameran ini lagi, untuk menceritakan pengalamannya ke Si Ayah.
Begitu masuk ke ruang pameran, kami disambut oleh tulisan di dinding: I paint the way some people write their autobiography. The paintings, finished or not, are the pages from my diary ~ Picasso. Tulisan ini seolah mengantar kami memasuki dunia pikiran Pablo Picasso. Area pameran dibagi menjadi 5 ruang yang memajang karya-karya Picasso (1881-1973), seniman dari Spanyol ini, dari awal dia memasuki dunia seni sampai karya di akhir hayatnya. Di ruang pertama, suasana masih ramai sekali. Jangankan bisa melihat lukisan dari dekat, mengintip sekilas saja tidak bisa karena bule-bule berbadan besar menghalangi pandangan kami, dan stroller Little A membatasi gerak kami. Duh, saya sempat frustasi karena mencoba mendengarkan podcast yang sudah saya unduh dari rumah saja tidak bisa, konsentrasi terganggu Little A yang mood-nya masih jelek banget.
Di pameran ini, tidak ada
guided tour-nya, tapi pengunjung bisa mengunduh gratis podcast tentang karya Picasso dari website galeri seni. Ada dua macam podcast: untuk dewasa dan untuk anak-anak. Sudah bisa ditebak,
podcast untuk anak-anak lebih menyenangkan :p Isi podcast untuk anak-anak adalah pengenalan sekilas karya Picasso, latar belakang pembuatannya dan kemudian pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik untuk mengapresiasi karya tersebut. Misalnya untuk lukisan Picasso di awal karirnya, podcast menanyakan pilihan warna yang digunakan, apakah termasuk warna yang hangat atau dingin? Apakah lukisan ini dibuat di waktu senang atau sedih? Sementara
podcast untuk dewasa isinya lebih kompleks, selain menceritakan latar belakang pembuatan karyanya, juga membahas teknik yang digunakan, beserta politik di balik karya tersebut. Di awal-awal karirnya, karya Picasso terpengaruh oleh karya suku-suku primitif di Afrika. Ketika itu, karya seperti itu tidak dianggap seni sama sekali oleh masyarakat Eropa yang masih mengagungkan keindahan dan kemegahan. Karenanya, karya-karya Picasso dianggap sebagai karya alternatif di zamannya. Kadang saya tidak begitu paham dengan isi podcast untuk dewasa. Mungkin memang level apresiasi seni saya masih setingkat anak-anak 🙂
|
Little A belajar membaca. Foto oleh Anindito Aditomo. |
|
Suasana foyer Galeri Seni NSW. Foto oleh Anindito Aditomo. |
Setelah menghirup napas panjang dan menenangkan diri, saya mencoba menaikkan mood Little A dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan sesuai minatnya. Lukisan pertama yang kami ‘bahas’ adalah ‘Three figures under a tree‘. Saya bertanya, “Lihat, ada berapa orang di lukisan itu? Dua ya?” Ini adalah trik kuno untuk menarik perhatian anak-anak: sengaja bicara salah sehingga anak-anak tertarik untuk membenarkan. Little A langsung protes, “No, Mommy. It’s three people. Look, one, two, three.” Hehe, it works all time. Setelah itu kami membahas warna-warna yang dipakai. Saya bertanya ke Little A apakah dia suka dengan warna yang dipakai Picasso. Jawaban Little A mengagetkan saya: “I think they need a bit of sparkle.” Memang lukisan itu agak suram, warnanya hijau tua, coklat dan hitam. Memang maksudnya Picasso ingin melukis hutan. Kemudian ketika ditanya apa yang sedang dilakukan orang-orang itu, Little A menjawab: “I think they are looking for spiders.” Wow, menarik sekali mengetahui apa yang ada dipikirkan oleh anak kecil ketika melihat sesuatu. Sudut pandangnya berbeda dengan orang dewasa. Sejak lukisan pertama yang sukses kami bahas ini, saya memulai perjalanan apresiasi seni dengan Little A yang jauh lebih menarik daripada kalau saya hanya melihat pameran sendiri dan mendengarkan isi podcast.
Ruang berikutnya adalah karya Picasso dengan gaya Kubisme. Big A sudah sibuk sendiri berdiskusi dengan Si Ayah, sementara saya kembali mencoba melontarkan pertanyaan-pertanyaan ke Little A. Di ruang Kubisme ini, selain dipajang lukisan-lukisan Picasso yang terinspirasi oleh sahabatnya, Cezanne, juga dipajang instalasi dengan tema gitar, mandolin dan biola. Konsep Kubisme adalah mengambil bentuk geometri asal dari benda-benda, misalnya kotak dan lingkaran, kemudian menyusun kembali bentuk-bentuk tersebut seperti pecahan puzzle. Big A sangat tertarik dengan lukisan “Man with a Guitar” yang tampak seperti kolase. Saya sendiri tidak paham dengan lukisan itu 🙂 Little A, ketika mendapati instalasi gitar Picasso, berkata, “the guitar is broken. It can’t make music.” Mengomentari karya kubisme yang lain, Little A bilang, “It’s not a guitar, it’s an aeroplane.” Hmm, saking canggihnya kubisme Picasso, sampai gitar dikira pesawat :p
Semakin lama, Little A semakin menikmati pameran ini. Dia terutama senang dengan lukisan istri-istri Picasso: Portrait of Olga in an armchair (istri pertama), Portrait of Dora Maar (istri kedua) dan Jacqueline with Crossed Hands (istri ketiga). Tidak usah dibahas Picasso gonta-ganti istri, seniman ini :p Lukisan-lukisan ini mempunyai perpaduan warna yang menarik dan menggambarkan karakter model yang dilukis dengan khas. Portrait of Dora Maar adalah lukisan favorit saya di pameran ini, Picasso menggabungkan aspek kubisme, surrealisme dan warna yg ekspresif. Kalau Little A, sudah jelas membahas fesyen dan gaya, sesuai minatnya. Dia membandingkan gaun yang dipakai Olga yang ‘flowery’ dengan gaunnya sendiri yang ‘fruity’. Sementara ketika melihat Dora, Little A berteriak, “Look Mom, she has colorful hair and colorful nails too.”
Selain lukisan, ada beberapa karya patung surealis yang dipamerkan. Patung surrealis yang menggambarkan manusia dengan bentuk aneh-aneh ini sangat memesona. Little A sampai turun dari stroller dan lama memperhatikan patung-patung tersebut. Sudah pasti, diskusiku dengan Little A jadi tambah seru. “Look, Mom, this man doesn’t have ears.” Memang patung-patung manusia aneh ini ada yang tanpa telinga, ada yang berhidung raksasa dan ada yang matanya di samping kepala. Karya surealis ini adalah contoh bagus sebuah karya seni tidak harus ‘indah’ atau realis. Saya berharap, setelah melihat dan mengapresiasi bentuk-bentuk ‘tidak sempurna’ dari Picasso ini, anak-anak merasa ‘dibebaskan’ ketika berkreasi nanti. Nggak perlu selalu menggambar, melukis atau membuat patung dg ‘bentuk sempurna’ atau realis. Remember when we saw Picasso? Saya ingin The Precils nanti tidak takut untuk berkreasi meski hasilnya ‘jelek’ atau tidak realis. Tentu bukan itu ukuran bagus tidaknya sebuah karya seni.
Seperti yang dibilang Picasso: “When I was a child, I could draw like Raphael, but it took me a lifetime to learn to draw like a child.”
|
“Three Figures under a tree” Foto oleh Radityo Widiatmojo |
|
“The Race” Foto oleh Radityo Widiatmojo |
|
“Jacqueline with Crossed Hands” Foto oleh Radityo Widiatmojo |
Ketika Little A mau jalan dengan Si Ayah, saya punya kesempatan menikmati karya-karya Picasso sendirian. Ada satu ruangan yang memajang karya-karyanya yang secara simbolis menentang perang. Saya miris melihat karya-karya ini, sejatinya tidak akan ada pihak yang menang dalam perang. Lukisan ‘Massacre in Korea’ membuat saya tertegun dan berharap kejadian itu tidak nyata.
Selesai menikmati karya-karya Picasso, kami digiring menuju kios yang menjual pernak-pernik Picasso. Untuk kenang-kenangan, kami membeli beberapa kartu pos yang harga satuannya $1,95. Sebenarnya saya ingin sekali membeli poster lukisan favorit saya, Portrait of Dora Maar, sayang sekali harganya $25, hiks.
Saya sangat puas mengunjungi pameran Picasso ini. Lebih senang lagi karena karya-karya Picasso termasuk yang bisa dinikmati oleh anak-anak. Sampai rumah, saya jadi tertarik mengetahui tentang karya-karya Picasso yang lain. Setelah saya google, ternyata banyak lukisan Picasso yang lebih bagus daripada yang saya lihat di pameran. Padahal kata panitia, pameran Picasso ini istimewa karena merupakan koleksi Picasso yang dia simpan sendiri dan tidak dijual kepada orang lain. Kata Si Ayah, itu sama saja dengan koleksi yang tidak laku. Whoa!
~ The Emak
Post Views: 433
Komentar