36 Jam Di Perth

Pemandangan kota Perth dilihat dari Kings Park

Perth, ibukota Western Australia ini dijuluki sebagai kota yang paling terisolasi di dunia. Soalnya ya memang jauh dari mana-mana sih 🙂 Coba lihat saja di peta benua Australia. Perth nyempil di pojok kiri bawah. Untuk mencapai ibukota negara bagian terdekat, Adelaide diperlukan waktu terbang tiga jam. Sementara dari Perth ke Sydney perlu waktu empat jam penerbangan.

Saya bercita-cita mengunjungi semua negara bagian Australia. Jadi ketika ada kesempatan kembali ke Sydney untuk menjemput Si Ayah yang selesai studi, kami sempatkan singgah dulu di Perth. Saya dan dua precils berangkat dari Surabaya ke Perth via Denpasar dengan maskapai kesayangan kami, Garuda Indonesia. Salah satu alasan saya memilih Garuda adalah bagasi kami bisa langsung diangkut dari Surabaya sampai Perth, meskipun kami harus pindah pesawat di Denpasar. Hal ini tidak bisa dilakukan kalau kami terbang dengan maskapai yang berbeda.

Berapa sih tiket Denpasar – Perth? Yang pasti lebih murah daripada tiket Denpasar – Sydney 🙂 Sayangnya waktu itu kami perginya menjelang lebaran dan beli tiketnya mepet, jadi lumayan mahal. Apalagi kami belinya tiket round trip tapi pulangnya dari kota yang berbeda. Satu tiket dewasa dan dua tiket anak-anak dari Surabaya – Perth dan Melbourne – Denpasar sebesar $2500-an. Pasalnya harga tiket domestik-nya sendiri, dari Surabaya ke Denpasar sudah mencapai Rp 1,5 juta sekali jalan per orang, tiga kali lipat dari harga normal. Duh!

Sebenarnya harga normal tiket Garuda Jakarta – Perth pp atau Denpasar – Perth pp tidak terlalu mahal, sekitar $650 termasuk pajak. Tergantung tanggalnya dan kapan beli tiketnya. Untuk tarif early bird Garuda, bisa DPS -PER pp bisa cuma $400-an. Maskapai lain yang melayani Denpasar – Perth adalah Virgin Australia (sekitar $500 pp), Qantas (sekitar $700 pp) dan Jetstar. Untuk Jetstar ini kalau beruntung bisa mendapat tiket SALE seharga $300 pp atau bahkan $200 pp. Air Asia juga melayani penerbangan DPS – PER ini dengan tarif terjangkau kalau lagi SALE, sekitar $300 – $400 pp. Nggak heran kalau orang Perth lebih sering berlibur ke Bali daripada ke Sydney 🙂

Kami lepas landas dari Denpasar jam 20.45 WITA. Zona waktu Perth dan Denpasar sama. Setelah menempuh penerbangan selama 3 jam 45 menit, kami tiba di bandara Perth pukul setengah satu dini hari. Penerbangan lumayan mengguncang. Untungnya the precils tidur. Saya sendiri sampai muntah saat ada turbulence di atas Samudra Hindia. 

Kedatangan kami tengah malam diperparah oleh antrian menuju pemeriksaan Custom yang mengular panjang sekali. Saya gendong Little A dengan kain, sambil mendorong troli berisi dua koper. Paling parah ketika ada rombongan pramugari Cathay Pacific yang menyerobot antrian dengan menyapa akrab seorang pilot di depan kami, seolah-olah kami ini nggak ada. Saya sudah kehilangan suara dan tidak berdaya untuk protes. Cuma mengingat dalam hati tidak akan naik Cathay Pacific gara-gara kelakuan pramugarinya yang tidak sopan ini. Tuhan Maha Adil, koper-koper kami boleh lewat begitu saja, tidak diperiksa sama sekali oleh petugas custom. Mereka hanya mengecek formulir kedatangan kami dan menanyakan apa yang perlu di-declare. Baca di sini untuk daftar barang-barang yang tidak boleh dibawa ke Australia.

Pagi dini hari, kami naik taksi menuju rumah teman yang bersedia menampung kami di Perth. Taksi di Australia  pasti pakai argo dan antrinya juga jelas. Makanya saya nggak takut sama sekali naik taksi pagi-pagi hanya dengan dua precils. Nggak sampai setengah jam kami sampai di rumah keluarga Habibi di daerah Inglewood. Kangen-kangenan sebentar, kami langsung beristirahat lagi agar besok bisa jalan-jalan dengan tenaga yang lebih fresh.

The Precils with The Habibis at their famous couch
Bis umum di Perth

Kami cuma punya 36 jam di Perth, jadi itinerary-nya ketat banget. Saya sudah pesan ke Hayu, nyonya rumah, untuk menemani kami ke tempat-tempat yang penting saja. Enaknya punya guide, saya nggak perlu pusing bikin itinerary, tinggal ngikut aja 🙂 Paginya kami diajak jalan-jalan ke kota, dengan naik bis umum. Kami membeli tiket satu kali jalan, untuk dewasa $2,70 dan untuk anak-anak $1,10, sementara Little A gratis. Lebih lengkap tentang sistem tiket transportasi umum di Perth bisa dilihat di sini.

Di kota, kami jalan-jalan di Murray St Mal. Bagi yang belum tahu, Mal di Aussie adalah istilah untuk jalan khusus pejalan kaki, tertutup bagi kendaraan bermotor. Seperti Car Free Day kalau di Indonesia, cuma yang ini 24 jam 🙂 Di sana bisa ambil peta gratis atau tanya-tanya tentang Perth di Information Booth. Di sini sih tidak perlu khawatir tersesat karena petunjuk jalan jelas dan ada di mana-mana.

Setelah sempat belanja buku di Dymocks dan beli sesuatu di The Body Shop, kami lanjut membeli takeaway sushi untuk makan siang di Taka’s Kitchen, restoran Jepang bersertifikat halal. Dari sana kami kembali jalan kaki menuju London Court, semacam ruko yang dibangun dengan gaya arsitektur Tudor, untuk obat kangen imigran dari Inggris 🙂 Di ruko ini ada kios-kios lucu yang menjual pernak-pernik ala Inggris. Saya tertarik sama toko permen dan kafe kecil yang ada di sebelahnya, tapi tidak sempat mampir. Kata Zaki, guide kami, foto di London Court ini bisa untuk pamer kalau kita sudah pernah mampir ke Inggris, hehe.

Dari London Court hanya beberapa blok menuju Swan Bells, tugu kebanggaan warga Perth. Kalau Inggris punya Big Ben, Perth punya Big Bells 🙂 Kami cuma lihat-lihat dari luar doang dan foto-foto di depannya karena masuk harus bayar. Tiket untuk dewasa $14, anak-anak $9, keluarga $30 dan di bawah lima tahun gratis. Kalau punya uang lebih, coba aja masuk. Kabarnya di dalam kita bisa mendengarkan lagu Indonesia Raya dimainkan.

Information Booth di Murray St Mal
Petunjuk jalan di Murray St Mal
Toko permen di London Court
LittleA dan The Emak di depan Bell Tower

Tujuan selanjutnya wajib dikunjungi kalau kita ke Perth: Kings Park. Dari Swan Bells kami naik Cat Bus (gratis) ke Kings Park. Taman seluas 400 hektar (gile kan besarnya?) ini bisa dibilang jiwa kota Perth. Dari atas taman, kita bisa melihat pemandangan bangunan pencakar langit di Perth berdampingan dengan indahnya Swan River yang berwarna biru. Menurutku, sungai Swan lebih indah daripada sungai Yarra di Melbourne atau sungai Brisbane yang airnya coklat. Bisa ngapain aja di Kings Park? Terserah kita sih. Little A yang gemar lari-lari langsung mengajak teman barunya, Hayya, untuk balapan lari. Sementara Big A tetap asyik dengan bacaannya. The Emak leyeh-leyeh santai sambil nyemil sushi. Setelah jalan-jalan dan memotret pemandangan kota, kami menggelar piknik di dekat War Memorial alias tugu pahlawan.

Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama menjelajah Kings Park yang kabarnya punya pohon unik Baobab. Cuma seuil aja dari 400 hektar yang kami cicipi. Perjalanan kami lanjutkan ke Freemantle dengan naik bis kota, dilanjutkan dengan kereta.

Little A dan Hayya lomba lari di Kings Park
Big A asyik baca di War Memorial, Kings Park
View dari Kings Park
Piknik di Kings Park. Ortunya pose, anaknya cuek :p

Fremantle tuh kota tua yang bisa dicapai sekitar 20 menit dengan kereta dari pusat kota Perth. Tapi hari itu kami kurang beruntung. Stasiun Central sedang diperbaiki, sehingga untuk naik kereta ke Freemantle tetap harus naik bis dulu ke stasiun terdekat setelah Central. Gampang kok caranya, tinggal cari kereta jurusan Freemantle (Freemantle Line). Nanti turunnya di stasiun terakhir. Jadwal kereta bisa dilihat di sini.
 
Dari stasiun kereta, kami berjalan menuju dermaga melalui Market St dan South Terrace yang dijuluki sebagai Cappuccino Strip, saking banyaknya kedai kopi di jalan ini. Di sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan bangunan-bangunan kuno yang ciamik, favorit saya. Sayangnya saya tidak bisa menikmati atau memotret dengan serius karena kami harus bergegas sebelum matahari benar-benar terbenam dan menghilang. Di pojok Market St, kami sempatkan mampir ke kedai coklat San Churro untuk membeli churros, camilan favoritku. Churros ini semacam donat Spanyol berbentuk batangan yang dicelupkan saus coklat. Yum!

Ketika sampai di pantai kecil di tepi dermaga, langit sudah berwarna jingga. Kami menikmati suasana senja ini bersama beberapa orang lain, yang juga sibuk foto-foto 🙂 Ketika matahari menghilang di balik cakrawala dan langit berganti memancarkan warna pink, kami melipir ke Cicerello’s untuk makan malam.

Di Cicerello’s, restoran makanan laut tepi dermaga ini, kami memesan seafood tray, yang isinya
fish & chips, 2 udang, 5 calamari, crab stick, dan irisan nanas! Ah, akhirnya ketemu lagi dengan fish and chips dengan saus tartar. Ikannya enak dan segar, hasil tangkapan hari ini. Kopi flat white yang saya pesan pun sangat enak, menuntaskan dahaga saya yang kangen minum kopi enak dengan susu sungguhan 🙂 Kalau sempat ke Freemantle, mampirlah ke Cicerello’s yang di website-nya mengaku kedai makanan laut No.1 di Western Australia 🙂

Kereta umum di Perth
pintu keluar stasiun Freemantle
Big A di depan stasiun Freemantle

Setelah kenyang, kami menjajal naik bianglala besar di taman dekat dermaga. Dari atas Sky View, kami bisa melihat pemandangan kota Freemantle yang berhiaskan lampu. Lumayan lah keliling beberapa putaran diiringi lagu-lagu nostalgia Emaknya. Kalau Si Ayah biasanya nggak mau naik bianglala seperti ini. Alasannya tiketnya kemahalan. Tapi saya rasa Si Ayah cuma takut ketinggian, tapi nggak mau mengakui :p

Turun dari bianglala, kami benar-benar capek. Susah banget menyeret Little A untuk berjalan kembali ke stasiun. Terpaksa The Emak yang perkasa ini harus menggendong. Di stasiun, kami ketinggalan kereta, jadi harus menunggu kereta berikutnya. Untungnya kereta sudah ada dan cukup lowong, jadi anak-anak bisa main-main sepuasnya di dalam gerbong, menunggu berangkat. Kami pulang dengan jalur yang sama dengan waktu berangkat: kereta, bis pengganti sampai stasiun central, kemudian jalan kaki sampai halte bis untuk ganti bis menuju Inglewood. Satu hari yang melelahkan tapi kami cukup puas dan gembira.

Sebenarnya kalau punya banyak waktu, ada dua tempat lagi yang wajib dikunjungi di Freemantle: E Shed Market (semacam Paddys Market di Sydney) untuk membeli suvenir murah dan Fremantle Market yang cuma buka Jumat-Minggu. Nggak papa deh belum sempat ke sana. Malah ada alasan untuk balik lagi mengunjungi Perth 🙂

Sunset di Freemantle
dermaga Freemantle
Fish n chips di Cicerello’s
Yummy Churros dengan saus coklat putih dan coklat :p

Hari berikutnya, kami cuma punya setengah hari di Perth. Kali ini kami mau mengunjungi Art Gallery of Western Australia yang gedungnya terletak di Perth Cultural Centre, satu kompleks dengan museum, perpustakaan, amphiteatre, central square, gedung teater dan wetland. Yang fakir wifi dan pecinta gratisan sila datang ke sini, ada wifi gratis di seluruh penjuru kompleks. You are welcome 🙂

Kami ke galeri seni untuk mengunjungi pameran Picasso to Warhol yang diangkut dari MoMA New York. Little A dan Big A terpikat dengan karya Picasso ketika mengunjungi pameran di Galeri Seni NSW. Karena itu penasaran juga dengan pameran ini. Kalau saya sendiri tertarik dengan karya seni Pop Art si Warhol. Kami beruntung ditemani oleh Zaki yang mengerti seni dan juga pelukis amatir 🙂 Jadi kan bisa nanya-nanya tentang karya yang dipamerkan, tidak sekedar bengong atau pura-pura ngerti di depan lukisan :p

Karya Picasso yang dipamerkan tidak sebanyak dan semenarik ketika ada pameran di Sydney, jadi the precils cepat bosan. Sebelum sampai ke Warhol, saya terpesona oleh lukisan Pollock: There Were Seven in Eight. Lukisan sebesar 1×2 meter berisi benang kusut ini menggambarkan keruwetan dan kegelisahan pelukisnya 😉

Saya buru-buru berfoto dengan Campbell Soup sebelum Little A meloloskan diri karena tertarik dengan pop art Marilyn Monroe. Setelah Little A puas, kami window shopping di art gallery shop. Saya dan The Precils selalu tertarik dengan pernak-pernik di setiap galeri seni yang kami kunjungi, karena memang lucu-lucu. Tapi jelas mahal banget! Ibaratnya pernak-pernik di toko galeri seni ini ready-to-wear art, seni yang bisa dipakai. Saya agak kecewa tidak bisa membeli repro poster Warhol yang harganya $25, duh! Akhirnya kami cuma beli kids pack berisi tas, balon, pensil dan lembar aktivitas, dan magnet kulkas pop art. Lumayan lah, kulkas saya di rumah jadi sedikit nyeni dan nge-warhol sekarang 😀

Apa sih yang disukai anak-anak dari galeri seni? Jawabnya adalah kedai es krim di depannya 😀 Kami leyeh-leyeh sejenak menikmati gelato di depan galeri sebelum mengejar pesawat ke Sydney.
 
Tiga puluh enam jam jelas kurang untuk menjelajah Perth. Kami bahkan belum ke pantai-pantai di Perth yang konon punya sunset yang cantik banget. Salah satu pantai yang disarankan oleh host kami adalah pantai Cottesloe, cakep banget katanya.

Yah, gimana dong. Menjelang siang kami sudah harus naik taksi menuju bandara, mengucapkan selamat tinggal pada Perth, dan pada host kami yang baik hati: Keluarga Habibi. Sampai beberapa hari kemudian Little A terus-menerus menanyakan teman barunya yang dia anggap sebagai my new cousin. Semoga bisa ketemu di lain waktu ya, Nak.

Kami terbang dari Perth pukul 2.30 sore, dan sampai di Sydney pukul 8.40 malam. Penerbangan dari Perth ke Sydney ditempuh dalam 4 jam 5 menit. Kali ini kami naik Qantas dengan tiket promo seharga $199 per orang. Bener kan, kalau dari Perth, tiket ke Sydney lebih mahal daripada tiket ke Bali. Penerbangan berlangsung mulus, dengan pemandangan senja yang bagus dari pantai selatan Australia, sebelum akhirnya pesawat menembus malam.

Sebentar lagi The Precil akan bertemu dengan Si Ayah, setelah 70 hari berpisah.

The Emak dan Little A di depan Art Gallery of WA
Campbell Soup si Warhol
Gelato di depan art gallery

 ~ The Emak

Komentar