Akhir-akhirnya “tuduhan tebang pilih” kepada KPK semakin sering dilakukan. Terlepas dari pernyatan “politis” ataupun mempunyai motivasi lain, pernyataan ini menggelitik dari pendekatan ilmu hukum pidana.
Sebagaimana diketahui, KPK sebagai “anak kandung reformasi” mempunyai amanat yang kuat didalam memberantas korupsi. Sebagai tindak pidana korupsi yang semakin menggurita, canggih dan menghancurkan sendi-sendi ekonomi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka diperlukan cara-cara yang luar biasa. Meminjam istilah Mahfud, MD, cara yang luar biasa diibaratkan “melahirkan dengan cara caesar’. Dengan demikian maka cara untuk menanggulanginya juga dilakukan dengan cara-cara “luar biasa”. Pandangan ini kemudian dapat dilihat berbagai putusan MK didalam mengadili UU KPK.
Dalam UU KPK, KPK kemudian “dikonsentrasikan” kepada (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan (b) tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (Pasal 11 UU KPK). Putusan Praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan mengkonfirmasikan.
Dari ilmu hukum pidana, penentuan pelaku (dader) merupakan salah salah optik untuk melihat kesalahan (schuld) dari dader. Kesalahan (schuld) yang dilakukan oleh pelaku (dader) maka terhadap pelaku (dader) dapat dimintakan pertanggungjawaban pelaku( teorekenbaardheid/criminal responsibility).
Didalam ilmu hukum pidana, Pasal 55 ayat (1) ke 1 dan pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP kemudian menetapkan empat golongan dader. Pasal ayat (1) ke 1 KUHP menyebutkan “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Sedangkan pasal 55 ayat (1) Ke 2 menyebutkan “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Orang yang melakukan sendiri tindak pidana biasa dikenal “pleger”. Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana disebut “doen pleger”. Orang yang turut melakukan tindak pidana disebut “mede pleger”. Sedangkan Orang yang dengan sengaja membujuk atau menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana “uit lokken”.
Meletakkan “pleger”, “doen pleger”, “mede pleger” atau “uit lokken” merupakan ranah teknis penyidikan yang dibuktikan didalam persidangan. Para pihak kemudian berkesempatan untuk menguji penempatan dader didalam perkara yang disidangkan.
Sehingga dengan menentukan pertanggungjawaban pelaku( teorekenbaardheid/criminal responsibility) maka terhadap “dader” dapat ditentukan jenis hukuman sebagaimana diatur didalam pasal 10 KUHP. Mekanisme ini dikenal didalam asas hukum Eropa kontinental (dianut di Indonesia sebagai asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan ( geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens sir rea ) (Pasal 1 KUHP)
Dari ranah penegakkan hukum, penentuan dader (penentuan peran/posisi) merupakan salah satu pembuktian yang memerlukan berbagai disiplin ilmu hukum lainnya. Pertanggungjawaban pelaku( teorekenbaardheid/criminal responsibility) dalam pendekatan tindak pidana korporasi kemudian tunduk dengan pertanggungjawaban sebagaimana diatur didalam UU Perusahaan terbatas. Begitu juga bagaimana melihat optik berbagai pertanggungjawaban lainnya seperti UU HAM (tindakan langsung dari Negara (act commission) atau pembiaran dari Negara (act of ommission).
Kesalahan menetapkan dader mengakibatkan “kesalahan orang (error en person). Kesalahan orang (error en person) sering juga disebutkan “keliru mengenai orang yang dimaksud atau kekeliruan mengenai orangnya”. Ada juga menyebutkan “disqualification in person”. Putusan Nomor. 89 KP/PID/2008 terdapat istilah lain tentang menangkap orang dan salah mendakwa orang yang disebut sebagai error in subjectif.
Kesalahan orang (error en person) berbeda dengan dimaksudkan didalam Pasal 44 KUHP (gangguan psikis), Pasal 48 KUHP (daya paksa atau overmacht), Pasal 49 KUHP (pembelaanterpaksa atau noodweer), Pasal 50 KUHP (menjalankan Undang-Undang) dan Pasal 51 KUHP (perintah jabatan).
Menurut ilmu pengetahuan hokum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan “een doen” atau “een niet doen” atau dapat merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak melakukan sesuatu”.
Sedangkan teori kesalahan menurut van ECK “Men kan het daderschap uit de delictsomschrving aflezen “. Artinya “orang dapat memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang pelaku dengan membaca suatu rumusan delik”. Sedangkan Prof. SIMONS, “strafbaar feit” harus dirumuskan karena (a) untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh UU, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. (b) agar suatu tindakan itu dapat dihukum maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsure dari delik seperti yang dirumuskan didalam UU. (c) setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut UU itu pada hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan hokum atau merupakan suatu “onrechtmatige handeling”
Semua syarat-syarat tersebut oleh Lamintang, disebut “begeleidende omstandigheden” atau “ vergezellende omstandigheden” atau “keadaan-keadaan penyerta atau keadaan yang menyertai sesuatu tindakan.
Dalam berbagai perundang-undangan, strafbaar feit” dirumuskan unsur “barang siapa” (KUHP) atau “setiap orang (peraturan perundang-undnagan diluar KUHP).
Unsure “strafbaarfeit” ialah orang yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi unsure tindak pidana yang dituduhkan terhadap terdakwa (Yurisprudensi MA).
Unsure “strafbaarfeit)” tidak dapat ditujukan kepada diri terdakwa karena menentukan unsure ini tidak cukup dengan menghubungkan terdakwa sebagai perseorangan sebagaimana manusia pribadi (naturaal personalijk) atau subyek hukum yang diajukan sebagai terdakwa dalam perkara ini. Akan tetapi yang dimaksud setiap orang dalam undang-undang adalah orang yang perbuatannya secara sah dan meyakinkan terbukti memenuhi semua unsure dari tindak pidana.
Jadi untuk membuktikan unsure “barang siapa/setiap orang (straafbaarfeit)” ” harus dibuktikan dulu unsure lainnya.
Atau dengan kata lain unsur “strafbaarfeit” tidak serta merta langsung menunjuk kepada perseorangan (naturalijk persoon). KUHP masih menempatkan sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Selain itu, KUHP juga masih menganut asas “sociates delinquere non potest” dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana (walaupun diluar KUHP sudah mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban komando)
Kesalahan didalam menetapkan peran dan posisi kemudian menyebabkan Kesalahan orang (error en person). Kesalahan menetapkan orang (error en person) dari “strafbaar feit” maka kemudian menyebabkan perkara dapat dinyatakan sebagai putusan bebas (vrijpaark).
Dalam praktek peradilan hukum pidana, perkara yang kemudian dinyatakan bebas (vrijpaark) merupakan kesempatan berbagai pihak untuk mendapatkan pelajaran.
Putusan pengadilan selain memberikan kepastian terhadap perkara yang tengah disidangkan, perkara yang menjadi putusan bebas merupakan kesempatan berbagai pihak diluar perkara pengadilan untuk melihat pandangan hakim melihat perkara dari pendekatan ilmu hukum pidana.
Sehingga masyarakat mendapatkan pendidikan hukum untuk melihat perkara yang dimaksudkan. Termasuk kalangan ahli hukum (jurist) untuk melihat penerapan dader sebagaimana digunakan dokrin klasik yang masih digunakan hingga kini di ruangan persidangan.
Komentar