Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, didalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 ditegaskan “hak-hak atas tanah” terdiri dari hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain.
Sedangkan pasal 20 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Sedangkan 20 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 menjelaskan “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Dengan menempatkan hak milik sebagai “hak terkuat dan terpenuh” sebagaimana diatur didalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 maka hak milik harus ditempatkan sebagai hak yang harus dihormati.
Namun kepemilikan terhadap tanah tidak bersifat mutlak. Dalam praktek peradilan hukum acara Perdata, dikenal berbagai putusan yang mengatur tentang tanah negara.
Tanah Negara didefinisikan oleh banyak peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, tanah negara ialah tanah yang dikuasai penuh oleh negara.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.
Bandingkan dengan definisi yang diberikan oleh Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjelaskan, Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yang selanjutnya disebut Tanah Negara adalah tanah yang tidak dilekati suatu hak atas tanah dan bukan merupakan Barang Milik Negara/Daerah dan atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah.
Hukum kemudian melindungi tanah negara. Didalam praktek pengadilan, berbagai putusan menjelaskan tentang tanah negara.
Didalam putusan Mahkamah Agung RI No.376 K/TUN/2008 dan Putusan Mahkamah Agung No. 2146 K/Pdt/2009 disebutkan “tanah sengketa bukan berasal dari tanah negara. Sehingga terhadap tanah negara tidak dapat dijadikan obyek perkara aquo”
Dengan demikian apabila yang menjadi obyek tanah negara maka perkara harus dinyatakan tidak dapat diterima (Putusan Mahkamah Agung No. 318 K/TUN/1997)
Komentar